Setelah antigen dapat dieliminasi,
maka agar tidak terjadi aktivasi sistem imun yang tak terkendali, maka
diperlukan adanya regulasi respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh untuk
meregulasi respons imun yang sudah terjadi.
Regulasi
oleh antibodi yang terbentuk
Antibodi yang terbentuk akibat
paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi selanjutnya. Pada waktu
kadar antibodi masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons permulaan, antibodi
yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas memproduksi
antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan
faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi karena
antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B
untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai
daya ikat tinggi terhadap antigen atau berafinitas tinggi, karena itu antibodi
yang dihasilkan juga berafinitas tinggi.
Adanya efek antibodi seperti
tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya IgM mempunyai tendensi
untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat
supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen
masih lebih besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah
kompleks Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat
dipresentasikan pada sel Th yang kemudian merangsang sel B membentuk antibodi.
Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun afinitas antibodi. Tetapi
bila antibodi sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai jumlah
cukup untuk menetralkan antigen yang ada, antibodi akan merupakan umpan balik
negatif agar tidak terbentuk antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi
karena dengan terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka
reseptor antigen pada sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop antigen
tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming sel B terhambat
(lihat Gambar 3-3).
Di samping itu, antibodi yang
bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif melalui bagian Fc-nya. Sel B
selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai reseptor Fc. Dengan terikatnya
antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada reseptor
antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya
gabungan silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak terjadi
aktivasi sel B (lihat Gambar 3-4). Tidak adanya bridging antara suatu
reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B mengakibatkan tidak
terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk mengalami
transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan akibatnya
pembentukan antibodi makin lama makin berkurang.
Regulasi
idiotip spesifik
Akibat stimulasi antigen terhadap
sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah. Pada kadar
tertentu, idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus
imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini
sebenarnya belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi
fakta memang membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi
dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit yang mempunyai reseptor untuk
idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga mempunyai idiotip hingga akan
merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.
Pada binatang adanya anti-idiotip
ini terlihat pada waktu fase respons imun mulai menurun. Anti-idiotip yang
terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal
image dari antigen asal. Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada
respons imun yang normal tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi
terhadap antigen asal. Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan
jumlah antibodi makin lama makin berkurang. Dapat dipersamakan seperti batu
yang jatuh ke dalam ir dan menimbulkan gelembung
air yang makin lama makin menghilang. Regulasi melalui pembentukan
anti-idiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down regulation)
yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).
Regulasi
oleh sel T supresor (Ts)
Dalam tubuh kita terdapat limfosit
yang dapat meregulasi limfosit lainnya untuk meningkatkan fungsinya yang
dinamakan sel T helper (Th = CD4). Selain itu terdapat juga limfosit
yang menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan sel T
supresor (Ts = CD8). Sel Ts dapat juga diaktifkan pada respons imun normal
dengan tujuan mencegah respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts
melakukan tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in vitro dapat diketahui bahwa
pada aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan menekan respons
imun yang sedang berlangsung.
Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga
cara, yaitu 1) oleh antigen yang merangsang respons imun itu sendiri. Antigen
merangsang CD4 yang 2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi antigen
spesifik yang akan merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen
yang mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya,
seperti sel B dan sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3)
oleh sel B atau sel Th yang mempunyai reseptor idiotip dari idiotip sel Ts,
sehingga sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.
Sistem
kekebalan dipengaruhi oleh modulasi beberapa hormon neuroendokrin.
Modulasi respon kekebalan oleh
hormon neuroendokrin
|
||
Hormon
|
Pencerap
|
Efek modulasi
|
ACTH
|
Sel B dan Sel T, pada tikus
|
sintesis antibodi produksi
IFN-gamma perkembangan limfosit-B
|
Endorfin
|
limpa
|
sintesis antibodi mitogenesis
aktivitas sel NK
|
TSH
|
Neutrofil, Monosit, sel B
|
meningkatkan laju sintesis
antibodi bersifat komitogenis dengan ConA
|
GH
|
PBL, timus, limpa
|
sel T CD8 mitogenesis
|
LH dan FSH
|
proliferasi produksi sitokina
|
|
PRL
|
sel B dan sel T
|
bersifat komitogenis dengan ConA
menginduksi pencerap IL-2
|
CRF
|
PBL
|
Produksi IL-1 meningkatkan
aktivitas sel NK bersifat imunosupresif
|
TRH
|
Lintasan sel T
|
meningkatkan sintesis antibodi
|
GHRH
|
PBL dan limpa
|
menstimulasi proliferasi
|
SOM
|
PBL
|
menghambat aktivitas sel NK
menghambat respon kemotaktis menghambat proliferasi menurunkan produksi
IFN-gamma
|
Sistem
kekebalan pada makhluk lain
Perlindungan
di prokariota
Bakteri memiliki mekanisme
pertahanan yang unik, yang disebut sistem modifikasi restriksi untuk melindungi
mereka dari patogen seperti bateriofag. Pada sistem ini, bakteri memproduksi
enzim yang disebut endonuklease restriksi, yang menyerang dan menghancurkan
wilayah spesifik dari DNA viral bakteriofag. Endonuklease restriksi dan sistem
modifikasi restriksi hanya ada di prokariota.
Perlindungan
di invertebrata
Invertebrata tidak memiliki limfosit
atau antibodi berbasis sistem imun humoral. Namun invertebrata memiliki
mekanisme yang menjadi pendahulu dari sistem imun vertebrata. Reseptor pengenal
pola (pattern recognition receptor) adalah protein yang digunakan di
hampir semua organisme untuk mengidentifikasi molekul yang berasosiasi dengan
patogen mikrobial. Sistem komplemen adalah lembah arus biokimia dari sistem
imun yang membantu membersihkan patogen dari organisme, dan terdapat di hampir
seluruh bentuk kehidupan. Beberapa invertebrata, termasuk berbagai jenis
serangga, kepiting, dan cacing memiliki bentuk respon komplemen yang telah
dimodifikasi yang dikenal dengan nama sistem prophenoloksidase.
Peptida antimikrobial adalah
komponen yang telah berkembang dan masih bertahan pada respon imun turunan yang
ditemukan di seluruh bentuk kehidupan dan mewakili bentuk utama dari sistem
imunitas invertebrata. Beberapa spesies serangga memproduksi peptida
antimikrobial yang dikenal dengan nama defensin dan cecropin.
Perlindungan
di tanaman
Anggota dari seluruh kelas patogen
yang menginfeksi manusia juga menginfeksi tanaman. Meski spesies patogenik
bervariasi pada spesies terinfeksi, bakteri, jamur, virus, nematoda, dan
serangga bisa menyebabkan penyakit tanaman. Seperti binatang, tanaman diserang
serangga dan patogen lain yang memiliki respon metabolik kompleks yang memicu
bentuk perlindungan melawan komponen kimia yang melawan infeksi atau membuat
tanaman kurang menarik bagi serangga dan herbivora lainnya.
Seperti invertebrata, tanaman tidak
menghasilkan antibodi, respon sel T, ataupun membuat sel yang bergerak yang
mendeteksi keberadaan patogen. Pada saat terinfeksi, bagian-bagian tanaman
dibentuk agar dapat dibuang dan digantikan, ini adalah cara yang hanya sedikit
hewan mampu melakukannya. Membentuk dinding atau memisahkan bagian tanaman
membantu menghentikan penyebaran infeksi.
Kebanyakan respon imun tanaman
melibatkan sinyal kimia sistemik yang dikirim melalui tanaman. Tanaman
menggunakan reseptor pengenal pola untuk mengidentifikasi patogen dan memulai
respon basal yang memproduksi sinyal kimia yang membantu menjaga dari infeksi.
Ketika bagian tanaman mulai terinfeksi oleh patogen mikrobial atau patogen
viral, tanaman memproduksi respon hipersensitif terlokalisasi, yang lalu
membuat sel di sekitar area terinfeksi membunuh dirinya sendiri untuk mencegah
penyebaran penyakit ke bagian tanaman lainnya. Respon hipersensitif memiliki
kesamaan dengan pirotopsis pada hewan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar